Ancaman Biomassa Terhadap Hutan Alam Kalbar Dalam Skema Transisi Energi

Kolase Journalist Camp : Deforestasi mengancam hutan alam

Manajer Kampanye Bioenergi Trend Asia Amalya Reza Oktaviani. Foto: Dok. KJC-2024

TKPPONTIANAK – Kebijakan pemerintah mengganti energi fosil batu bara ke energi baru terbarukan, khususnya biomassa kayu, berpotensi menimbulkan masalah baru bagi lingkungan.

Deforestasi mengancam hutan alam, karena tuntutan pemenuhan biomassa kayu melalui penyediaan hutan tanaman energi (HTE).
Hal itu diungkapkan Manager Program Bioenergi Trend Asia Amalya Reza Oktaviani dalam sesi workshop “Sisi Lain Bioenergi, Pembajakan Tanah Rakyat Atas Nama Transisi Energi” pada Kolase Journalist Camp 2024, di New Agro Rekadana, Kubu Raya, Kamis (24/10).

Dalam paparannya, Amalya Reza mengatakan, proyek listrik biomassa, mencampur kayu dengan batubara untuk menghasilkan listrik di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), diklaim sebagai langkah untuk menekan emisi karbon yang memicu krisis iklim, namun kenyataannya proyek ini sangat rakus lahan.

Dibutuhkan sekitar 2,3 juta hektare lahan, atau 35 kali luas daratan Jakarta, untuk memenuhi pasokan biomassa kayu ke 52 PLTU di Indonesia. Dari total lahan tersebut, setidaknya 1 juta hektare hutan alam akan dikorbankan untuk kebun kayu monokultur.

“Kebutuhan biomassa 10,2 juta ton, sementara saat ini baru terpenuhi sekitar 1 juta ton. Untuk memenuhi kebutuhan itu butuh 2,3 juta hektar lahan hutan tanaman energi. Maka deforestasi yang terjadi antara 600 ribu hektar hingga 1 juta hektar,” kata Amalya.

Dampak lain dari proyek tersebut akan menhasilkan emisi baru. Data proyeksi Trend Asia menyebut, pembakaran biomassa kayu melalui proses co-firing, akan menimbulkan emisi mencapai 17 juta ton.

“Belum lagi dampak dari deforestasi yang ditimbulkan mencapai 26,48 juta ton,” ungkap Amalya.

Lantas bagaimana dengan Kalimantan Barat?
Dikatakannya, dari 52 PLTU yang tersebar di Indonesia, empat di antaranya berada di Kalimantan Barat. Di antaranya PLTU Sintang, PLTU Ketapang, PLTU Bengkayang, dan PLTU Sanggau.

Selain itu, ada empat Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) di Kalbar, di antara PLTBm Harjhon Timber, PLTBm Suka Jaya Makmur, PLTBm Rezeki Perkasa Sejahtera Lestari (RPSL) dan PLTBm Sukajaya Makmur.

“Saat ini, PLN juga merencanakan pengembangan sembilan PLTBio di Kalbar,” bebernya.

Untuk memuluskan proyek transisi energi biomassa kayu tersebut, pemerintah telah membangun tujuh Hutan Tanaman Energi (HTE) di Kalbar, sekaligus menjadikan provinsi ini sebagai provinsi dengan jumlah HTE terbanyak di Indonesia.

Tujuh perusahaan tersebut di antaranya, PT. Muara Sungai Landak (MSL) dengan luas konsesi 13.000 Ha, di Kabupaten Mempawah, PT. Hutan Ketapang Industri dengan luasan konsesi 100.150 Ha, di Ketapang, PT. Gambaru Selaras Alam dengan luas konsesi 20.445 Ha, di Sanggau, PT. Inhutani III Nanga Pinoh dengan luas konsesi 119.080 Ha, di Melawi, PT. Bhatara Alam Lestari dengan luas konses 7.100 Ha, di Mempawah, PT. Nityasa Idola dengan luas konsesi 113.196 Ha, di Sanggau, dan PT. Daya Tani Kalbar dengan luas konsesi 56.060 Ha di Ketapang.

Untuk itu, ia menilai, kebijakan proyek transisi energi biomassa kayu perlu dilakukan evaluasi karena tidak sesuai dengan pilar keadilan dalam transisi energi. Yakni,keadilan rekognisi, yaitu pengakuan terhadap komunitas rentan. Sekaligus mengakui keterentanan mereka, serta perbedaan hak dan kebutuhan.

Keadilan distributif, yakni memastikan distribusi manfaat yang adil dan merata, serta mengurangi distribusi beban dan risiko terhadap komunitas yang paling berdampak.

Keadilan prosedural, yakni menjamin, memenuhi dan memberikan perlindungan setiap orang untuk dapat berpartisipasi dalam setiap kebijakan.
Terakhir, keadilan restoratif, yakni upaya untuk melindungi korban dari kegiatan yang membahayakan dan merestorasi mereka kepada keadaan semula.(*)

Berita yang anda simpan: