Pemprov Kalbar Dukung Optimalisasi Pendapatan Daerah dari Sektor Kehutanan dan Pertambangan

BALIKPAPAN – Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) terus berupaya memperkuat ketahanan fiskal daerah melalui pengelolaan potensi sumber daya alam yang lebih optimal, terutama dari sektor kehutanan dan pertambangan. Komitmen ini ditegaskan Gubernur Kalbar, Ria Norsan, saat menghadiri Rapat Koordinasi Gubernur se-Indonesia terkait Dana Bagi Hasil (DBH) SDA di Balikpapan, Rabu (9/7/2025).

Rapat yang berlangsung di Hotel Novotel Balikpapan tersebut mempertemukan 12 gubernur dari daerah penghasil sumber daya alam. Pertemuan ini menjadi ajang strategis untuk membahas tantangan dan peluang dalam menggali potensi DBH serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) guna memperkuat fiskal daerah.

Dalam paparannya, Gubernur Ria Norsan mengungkapkan bahwa lebih dari setengah desa di Kalbar yakni 1.157 dari total 2.046 desa berada di dalam dan sekitar kawasan hutan. Ini menandakan tingginya ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya hutan untuk keberlangsungan hidup.

“Kawasan hutan di Kalbar mencakup sekitar 8,32 juta hektare dari total luas wilayah 14,7 juta hektare. Selain itu, Kalbar juga memiliki ekosistem mangrove seluas 162.219 hektare yang didominasi oleh mangrove lebat,” ujarnya.

Dijelaskan pula bahwa Kalbar memiliki 17 Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), meskipun hanya lima yang sudah berjalan efektif. Sementara itu, Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) di provinsi ini mencapai 2,79 juta hektare yang tersebar dalam 124 unit KHG.

Salah satu tantangan utama yang dihadapi Kalbar saat ini adalah perubahan regulasi pusat, termasuk penghapusan PNBP Iuran Tetap untuk komoditas mineral bukan logam dan batuan melalui PP No. 19 Tahun 2025. Perubahan ini berpotensi memangkas penerimaan daerah karena belum adanya dasar hukum baru untuk pengenaan iuran pengganti.

“Fluktuasi dana bagi hasil sangat terasa. Dari Rp97,2 miliar di tahun 2020 menjadi hanya Rp32,8 miliar pada triwulan I tahun 2025. Ini tentu harus menjadi perhatian serius kita semua,” ungkap Ria Norsan.

Sektor pertambangan di Kalbar selama ini memberikan kontribusi melalui dua jalur utama: Iuran Tetap dengan porsi DBH 30% dan Iuran Produksi (royalti) dengan porsi 16%, sesuai ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 2022. Hingga Maret 2025, tercatat 65 unit PBPH (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan) aktif di Kalbar, mencakup luas sekitar 2,75 juta hektare.

Sektor kehutanan juga mengalami dinamika. Meski PNBP kehutanan sempat mencapai Rp108,34 miliar pada 2022, tren menurun tercatat pada 2023 dan 2024. Total piutang dari PKH (Pemanfaatan Kawasan Hutan) pun masih mencapai Rp73,45 miliar, yang berisiko menjadi kerugian negara jika tidak segera ditindaklanjuti.

Program perhutanan sosial terus berkembang dengan 271 unit persetujuan hingga Juni 2025, mencakup hampir 702 ribu hektare. Skema ini mencakup berbagai model, seperti Hutan Adat, Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat, hingga Kemitraan Kehutanan.

Namun, menurut Gubernur Kalbar, masih ada persoalan krusial seperti tidak adanya mekanisme pembagian hasil dari PNBP PKH untuk pemerintah daerah. Ini menghambat efektivitas pengawasan di lapangan.

Tak hanya itu, tren menurunnya Transfer ke Daerah (TKDD) dari sektor kehutanan juga menjadi sorotan. Jika pada 2019 TKDD kehutanan sempat mencapai Rp54,44 miliar, angkanya merosot tajam menjadi Rp10,66 miliar di tahun 2025.

“Ini alarm penting bagi kita semua. Keseimbangan fiskal daerah perlu dijaga dengan penguatan regulasi, sinergi antar-daerah, serta kepastian pengelolaan sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan,” tegas Norsan.

Melalui forum koordinasi ini, Pemerintah Provinsi Kalbar berharap ada solusi konkret dan langkah bersama yang dihasilkan guna menjamin kelangsungan pendapatan dari sektor kehutanan dan pertambangan, demi mendukung pembangunan yang merata dan berkelanjutan di wilayah Kalimantan Barat.

Berita yang anda simpan: