PONTIANAK – Angka perceraian di Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, yakni hingga 88 persen. Menurut data yang disampaikan oleh Ketua Pengadilan Tinggi Agama Pontianak, Sukkri Dari jumlah tersebut, sekitar 80 persen pengajuan perceraian dilakukan oleh pihak perempuan.
“Penyebab perceraian ini masih perlu diteliti lebih lanjut melalui survei. Namun, yang jelas, tren perceraian di Kalbar saat ini cukup tinggi,” ujar Sukkri, Rabu (13/8/2025).
Ia menambahkan bahwa dampak perceraian sangat besar, tidak hanya bagi pasangan, tetapi juga bagi anak-anak dan lingkungan sosial.
“Perceraian bisa memicu retaknya hubungan keluarga, mengganggu stabilitas sosial, hingga menambah angka kemiskinan, terutama jika pihak perempuan yang bercerai tidak memiliki penghasilan atau dukungan ekonomi,” ungkapnya.
Sukkri juga menyinggung pentingnya kolaborasi antara lembaga peradilan dan program bantuan hukum dari tingkat desa, seperti program Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), guna menyelesaikan konflik rumah tangga sebelum sampai ke meja hijau.
“Kalau kita bisa kolaborasi dari tingkat desa, permasalahan keluarga bisa diselesaikan lebih awal. Dengan begitu, potensi perceraian bisa ditekan,” katanya.
Sementara itu, upaya perlindungan terhadap perempuan dan anak pasca perceraian juga tengah menjadi perhatian, terutama dalam menjaga stabilitas ekonomi dan sosial keluarga yang terdampak.
Dari sisi wilayah, Kabupaten Ketapang tercatat sebagai daerah dengan tingkat perceraian tertinggi di Kalbar saat ini, menggeser posisi Kabupaten Sambas yang sebelumnya berada di peringkat pertama.
Sukkri menekankan bahwa kasus perceraian di kalangan usia muda juga mulai menunjukkan tren peningkatan, sehingga diperlukan perhatian khusus dari semua pihak, termasuk para ASN, untuk menjadi contoh dalam menjaga keutuhan rumah tangga.
“Dari ASN kita harapkan bisa menjadi teladan. Karena kalau tidak ditangani sejak dini, tren ini bisa terus meningkat dari tahun ke tahun,” pungkasnya.