Setiap kali musibah datang, pertanyaan tentang takdir selalu muncul. Banyak orang spontan berkata, “Ya, ini sudah takdir.” Gedung roboh, bencana datang, nyawa melayang—semuanya dianggap bagian dari ketentuan yang harus diterima. Lalu manusia hanya bisa pasrah. Diam dalam keyakinan yang fatalistik.
Namun, benarkah semua harus diterima tanpa berpikir? Dalam agama, pasrah itu penting, tapi bukan berarti berhenti menggunakan akal. Setiap musibah pasti punya sebab. Ada faktor kelalaian, ada kesalahan manusia, ada hal yang mestinya bisa dicegah. Maka, menyebut semua sebagai “takdir” tanpa menimbang sebabnya, adalah cara beragama yang menutup peran rasio.
Dalam teologi Asy’ariyah, dikenal istilah al-kasb—ikhtiar. Artinya, manusia tetap punya peran. Tuhan memberi ruang bagi manusia untuk berusaha, berpikir, dan mengantisipasi. Takdir bukan alasan untuk menyerah, tapi kesadaran bahwa setelah usaha maksimal, barulah hasilnya kita serahkan kepada Allah. Di situlah letak keseimbangan antara iman dan akal.
Kisah Umar bin Khattab sering dijadikan cermin. Suatu ketika, beliau hendak berkunjung ke wilayah yang sedang dilanda wabah tha’un—penyakit menular mematikan. Saat diberi tahu, Umar memutuskan berpindah ke tempat lain. Seorang sahabat bertanya, “Apakah engkau lari dari takdir Allah?” Umar menjawab bijak, “Aku berpindah dari satu takdir menuju takdir yang lain.”
Jawaban itu sederhana tapi dalam. Takdir bukan berarti diam. Takdir memberi ruang bagi usaha. Karena usaha manusia juga bagian dari takdir itu sendiri. Di situlah rasionalitas menemukan tempatnya dalam iman. Kita berikhtiar agar terhindar dari musibah, memperbaiki kesalahan agar bencana tak berulang, dan tetap menyadari bahwa hasil akhirnya adalah milik Allah.
Agama dan akal tidak boleh dipisahkan. Keduanya saling melengkapi. Dalam sebuah hadis disebut, “Agama itu adalah akal.” Tanpa akal, agama kehilangan arah; tanpa iman, akal kehilangan makna. Tuhan memberi manusia kemampuan berpikir agar hidupnya lebih baik, lebih bijak, dan lebih siap menghadapi takdir dengan usaha yang terbaik.
Musibah mengingatkan kita untuk tidak hanya pasrah, tapi juga belajar. Takdir bukan untuk ditakuti, melainkan dipahami. Dan rasio adalah karunia agar manusia mampu menempuh jalan takdirnya dengan penuh kesadaran.