Nabi Muhammad ﷺ adalah utusan Allah yang hadir ke muka bumi ini untuk membawa risalah Islam serta membimbing manusia menuju jalan keselamatan di dunia dan akhirat. Meskipun menjadi utusan Allah, Nabi Muhammad juga adalah manusia yang mempunyai perasaan, termasuk merasakan kesedihan karena kehilangan salah seorang putra tercintanya, Ibrahim.
Ibrahim adalah satu-satunya putra Nabi Muhammad yang lahir bukan dari Khadijah, melainkan dari Maria Al-Qibthiyyah. Ibrahim lahir di Madinah pada tahun ke-8 Hijriyah. Sebagai seorang ayah, tentu Nabi Muhammad pun sangat menyayangi Ibrahim. Namun takdir Allah berkata lain, saat usianya baru sekitar 18 bulan, Ibrahim wafat. Kepergiannya itu meninggalkan duka tersendiri bagi Rasulullah.
Kesedihan Nabi Muhammad ini tergambar dalam sebuah hadits sahih. Saat menyaksikan jasad Ibrahim yang tak lagi bernyawa, air mata Nabi pun menetes. Melihat hal itu, para sahabat pun memberanikan diri untuk bertanya kepada Nabi Muhammad, lalu beliau bersabda:
إِنَّ العَيْنَ تَدْمَعُ، وَالقَلْبَ يَحْزَنُ، وَلَا نَقُولُ إِلَّا مَا يُرْضِي رَبَّنَا، وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ
Artinya: “Sesungguhnya mata ini meneteskan air mata, hati merasa sedih, namun kami tidak mengatakan kecuali apa yang diridhai oleh Allah. Dan sesungguhnya kami benar-benar berduka atas perpisahan denganmu, wahai Ibrahim.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Selain hadits sahih di atas, terdapat pula riwayat lain dengan lafaz yang lebih panjang. Riwayat ini disebutkan oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Al-Mathalibul Aliyyah (Riyadh, Darul Ashimah: 1418 H), juz 1, halaman 363. Riwayat hadits ini berasal dari seorang tabi’in bernama Makhul, namun riwayatnya mursal karena ia meriwayatkannya langsung dari Nabi tanpa menyebut sahabat sebagai perantaranya.
Dalam riwayat itu dikisahkan bahwa Nabi Muhammad masuk dengan bersandar kepada Abdurrahman bin Auf. Saat itu beliau mendapati putranya, Ibrahim, sedang menghadapi detik-detik terakhir kehidupannya. Menyaksikan kondisi tersebut, air mata Nabi pun berlinang. Abdurrahman bin Auf yang menyaksikan momen sedih tersebut memberanikan diri bertanya kepada Nabi:
“Wahai Rasulullah, engkau menangis? Jika kaum muslimin melihatmu menangis, tentu mereka pun akan ikut menangis.”
Mendengar ucapan Abdurrahma bin Auf ini membuat air mata Rasulullah menjadi tak terbendung, mengalir perlahan dari kedua matanya, beliau kemudian bersabda:
إِنَّمَا هَذَا رَحْمَةٌ، وَإِنَّ مَنْ لَا يَرْحَمْ لَا يُرْحَمْ، إِنَّمَا أَنْهَى النَّاسَ عَنِ النِّيَاحَةِ، وَأَنْ يُنْدَبَ الْمَيِّتُ بِمَا لَيْسَ فِيهِ
Artinya: “Ini adalah kasih sayang. Barang siapa tidak menyayangi, maka ia tidak akan disayangi. Aku hanya melarang manusia dari niyahah (meratapi) dan menyebut-nyebut mayit dengan sesuatu yang tidak ada padanya.”
Selanjutnya, setelah putra tercintanya Ibrahim wafat, Nabi Muhammad bersabda:
لَوْلَا أَنَّهُ وَعْدٌ جَامِعٌ، وَسَبِيلٌ مَأْتًى، وَأَنَّ الْآخِرَ مِنَّا يَلْحَقُ بِالْأَوَّلِ، لَوَجَدْنَا غَيْرَ الَّذِي وَجَدْنَا، وَإِنَّا بِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ، تَدْمَعُ الْعَيْنُ، وَيَجِدُ الْقَلْبُ، وَلَا نَقُولُ مَا يُسْخِطُ الرَّبَّ، وَفَضْلُ رَضَاعِهِ فِي الْجَنَّةِ
Artinya: “Seandainya tidak ada janji untuk berkumpul (di akhirat), jalan menuju tempat kembali, dan yang belakangan akan menyusul yang terdahulu, niscaya kami akan merasakan kesedihan yang lebih berat dari ini. Dan sesungguhnya kami benar-benar bersedih atas (kepergianmu) wahai Ibrahim. Air mata menetes, hati bersedih, namun kami tidak mengatakan sesuatu yang membuat Allah murka. Dan sungguh, penyusuannya disempurnakan di surga.”
Kesedihan Nabi Muhammad atas kepergian putranya ini memberikan pelajaran berharga bagi umat Islam. Di antaranya adalah bersedih dan menangis ketika berpisah dengan orang yang dicintai merupakan fitrah dari seorang manusia. Air mata yang mengalir merupakan wujud dari kasih sayang, bukan tanda lemahnya iman.
Rasulullah pun melarang umatnya melakukan niyahah, yaitu menangis dan meratapi kesedihan dengan berlebihan dan menyanjung mayit dengan sesuatu yang tidak ada padanya. Dengan demikian, seorang muslim boleh bersedih dan menangis atas kematian orang yang dicintainya, tetapi harus sewajarnya sehingga bisa tetap mengendalikan emosi, ucapan, maupun sikapnya. Wallahu a’lam.