Menghormati dan memuliakan tamu adalah bagian dari akhlakul karimah yang sangat dijunjung tinggi dalam ajaran Islam. Selain menjadi sarana untuk mempererat ikatan persaudaraan, perlakuan seorang Muslim terhadap tamunya juga mencerminkan tingkat keimanan dan ketakwaannya. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
Artinya: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR Bukhari Muslim)
Ketika ada seseorang tamu yang berkunjung, hendaknya tuan rumah tidak membeda-bedakan latar belakang suku, ras, bangsa, bahkan agamanya. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam pun pernah ditegur oleh Allah akibat menolak melayani seorang tamu hanya karena dia seorang non-muslim.
Dikisahkan Syekh Utsman Al-Khaubawi dalam kitab Durratun Nashihin (Semarang, Toha Putra: t.t) halaman 49, suatu malam seorang Majusi mendatangi rumah Nabi Ibrahim untuk mengurus suatu keperluan. Sayangnya, ketika mengetahui bahwa tamunya itu adalah seorang Majusi, Nabi Ibrahim malah mengatakan bahwa saat itu ia tidak bisa melayani tamu.
“Saya tidak bisa melayani kamu, kecuali jika kamu mau meninggalkan agama dan kepercayaanmu,” kata Nabi Ibrahim pada tamu tersebut.
Mendengar ucapan tersebut, tentu saja tamu Majusi itu merasa bersedih. Pria yang telah berusia sekitar 70 tahun itu pun segera beranjak pulang dengan hati kecewa karena kedatangannya tidak diterima oleh Nabi Ibrahim.
Tidak lama setelah peristiwa tersebut, Nabi Ibrahim mendapat teguran langsung dari Allah karena menolak kunjungan tamu hanya karena dia beragama majusi. Allah berfirman kepada Nabi Ibrahim:
“Wahai Ibrahim, kamu tidak sudi melayani tamu Majusi itu kecuali dia mau keluar dari agamanya. Sebenarnya apa ruginya jika malam ini kamu melayani dia? Walaupun dia kafir kepada Kami, tapi Kami tetap memberinya makan dan minum selama tujuh puluh tahun,” demikian teguran Allah kepada Nabi Ibrahim.
Setelah mendapat teguran dari Allah, Nabi Ibrahim pun menyadari bahwa tindakannya itu adalah keliru. Tanpa menunda waktu, pada pagi hari yang masih diselimuti kegelapan, beliau bergegas keluar untuk mencari keberadaan orang Majusi tersebut.
Akhirnya Nabi Ibrahim berhasil menemukan orang yang dicarinya itu. Tentu saja orang Majusi merasa terkejut ketika melihat kedatangan Nabi Ibrahim karena tadi malam Nabi Ibrahim justru menolak kehadirannya sebagai tamu.
“Ada apa gerangan? Semalam engkau menolak kedatanganku tapi sekarang malah mencariku,” ucap orang Majusi itu dengan nada heran.
Nabi Ibrahim pun akhirnya meminta maaf kepada orang Majusi tersebut. Beliau juga menyampaikan bahwa setelah orang Majusi itu pergi meninggalkan rumahnya, Allah langsung menurunkan wahyu.
“Tuhan telah memperlakukanku dengan begitu baik, sementara aku malah kufur kepada-Nya. Ulurkanlah tanganmu wahai Ibrahim, aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah,” ucap orang Majusi itu dengan penuh ketulusan dan menerima agama tauhid.
***
Kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalām yang ditegur oleh Allah memberi pelajaran berharga tentang pentingnya menghormati siapa pun yang datang bertamu. Setiap tamu berhak mendapat sambutan yang baik, meskipun latar belakang atau keyakinannya berbeda. Lebih dari itu, kisah ini juga menjadi peringatan agar kita tidak menutup pintu kebaikan kepada siapa pun.
Selain itu, kisah ini juga menunjukkan bahwa hidayah Allah bisa datang melalui wasilah akhlak mulia. Orang Majusi yang awalnya pulang dengan kecewa justru menerima ajaran Islam setelah melihat ketulusan dan kelembutan sikap Nabi Ibrahim. Maka, memuliakan tamu bukan hanya soal adab tapi juga menjadi sarana untuk mendekatkan manusia kepada rahmat Allah. Wallahu a’lam.