PONTIANAK – Menanggapi insiden dugaan keracunan massal pada program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kalimantan Barat, Pengamat Kebijakan Hukum Publik, Herman Hofi Munawar, menilai peristiwa ini seharusnya menjadi evaluasi menyeluruh, bukan ajang saling menyalahkan.

Menurut Herman, insiden yang sempat menghebohkan masyarakat Kalbar bahkan secara nasional ini membuka kemungkinan adanya celah hukum dan lemahnya pengawasan terhadap penyedia program MBG, baik dari sisi regulasi maupun implementasi teknis di lapangan.

“Tidak perlu kita terlalu heboh dengan menyalahkan atau mencari kambing hitam. Saya yakin semua pihak tentu tidak menghendaki terjadinya insiden ini. Saat ini bukan waktunya saling menyalahkan atau merasa paling berjasa. Hal ini justru akan memperkeruh suasana,” ujar Herman dalam keterangannya, Kamis (26/09/2025).

Ia menekankan perlunya pendekatan yang konstruktif guna mengurai akar masalah dalam pelaksanaan program MBG, termasuk melakukan evaluasi sistemik terhadap standar operasional prosedur (SOP) yang digunakan.

“Perlu ada SOP yang jelas dengan pengawasan ketat dari hulu hingga hilir. Dari sisi hulu, bahan makanan harus benar-benar teruji keamanannya. Tidak boleh ada kompromi soal kualitas,” tegasnya.

Lebih lanjut, Herman menyoroti pentingnya pemeriksaan berkala terhadap dapur pengolahan makanan, yang menurutnya merupakan titik kritis dalam proses penyediaan pangan. Ia mendorong agar Dinas Kesehatan dan Balai POM dilibatkan secara aktif dalam pengawasan tempat produksi makanan MBG.

“Dapur sebagai tempat pengolahan harus dipastikan bersih dan layak. Pemeriksaan berkala oleh petugas harus menjadi bagian wajib dari program ini,” tambahnya.

Selain itu, rantai pasok bahan makanan juga perlu dikontrol secara ketat. Herman menyebut bahwa harus ada pihak yang bertanggung jawab secara hukum atas keamanan dan kualitas bahan baku yang digunakan, termasuk dalam hal standarisasi gizi dan keamanan pangan.

Herman juga menyoroti persoalan di titik distribusi, yakni di sekolah-sekolah. Ia menilai guru sering kali menjadi sasaran kesalahan ketika terjadi kendala di lapangan, padahal posisi guru hanya sebagai fasilitator, bukan pelaksana teknis.

“Guru terkadang hanya jadi sasaran kesalahan saat ada masalah dalam pembagian makanan atau pengelolaan limbah. Padahal mereka bukan penyedia layanan, hanya fasilitator,” jelasnya.

Herman mendorong pemerintah daerah dan kementerian terkait untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh, memperkuat regulasi, serta memastikan setiap rantai dalam pelaksanaan MBG berjalan sesuai standar dan tidak membahayakan penerima manfaat.(Ara)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *