PONTIANAK – Persoalan kepemilikan lahan di kawasan Jalan Aloevera, Pontianak Tenggara, yang sempat memicu perbincangan di media sosial, kini telah mencapai titik damai. Melalui proses mediasi intensif yang difasilitasi oleh Pemerintah Kota Pontianak, kedua belah pihak yang bersengketa akhirnya sepakat menyelesaikan masalah secara kekeluargaan.

Wali Kota Pontianak, Edi Rusdi Kamtono, menyampaikan bahwa kesepakatan tercapai setelah adanya dialog terbuka antara pemilik tanah dan pihak yang menduduki lahan tersebut.

“Persoalan itu sudah dimediasi dan mencapai kesepakatan bersama. Warga yang sebelumnya membangun di atas lahan tersebut telah bersedia membongkar bangunannya secara sukarela,” ujarnya saat ditemui di Balai Kota, Senin (13/10).

Dalam upaya mencegah kasus serupa, Edi mengimbau seluruh pemilik tanah agar mengurus balik batas dan memastikan legalitas lahan yang mereka miliki melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN). Menurutnya, minimnya pengawasan terhadap tanah pribadi kerap menjadi pemicu sengketa.

“Sering kali karena lahan dibiarkan bertahun-tahun tanpa pengawasan, akhirnya dianggap terlantar dan dimanfaatkan pihak lain. Ini yang harus dicegah sejak awal,” tegasnya.

Pemerintah Kota juga tengah menyusun rencana bersama BPN untuk membentuk tim pemetaan persoalan pertanahan, guna mengidentifikasi dan menyelesaikan konflik agraria di Pontianak. Edi menyebut banyak kasus yang melibatkan surat tanah bermasalah atau bahkan palsu.

“Kami pernah temukan surat tanah tahun 1960-an tapi menggunakan ejaan baru dan materai tidak sesuai tahun. Ini jadi tanda-tanda surat palsu. Warga harus lebih hati-hati dan segera daftarkan tanahnya secara resmi, apalagi sekarang sudah bisa digital,” ujarnya.

Sementara itu, Camat Pontianak Tenggara, M. Yatim, mengungkapkan bahwa sengketa di Jalan Aloevera sudah berlangsung sejak tahun 2023. Proses mediasi dilakukan secara bertahap dan tertutup demi menjaga kondusivitas.

“Kasus ini sempat viral di media sosial karena dianggap tidak ada tindakan. Padahal, sejak awal kami sudah melakukan mediasi dengan kedua belah pihak,” jelasnya.

Dalam pertemuan terakhir, kata Yatim, disepakati bahwa pihak yang menduduki lahan akan memberikan kompensasi sesuai kesepakatan, dan membongkar bangunan yang berdiri di atas tanah bersertifikat tersebut paling lambat pada 2 November 2025.

“Kami sudah buat berita acara dan perjanjian tertulis. Semua pihak hadir dan sepakat secara kekeluargaan. Saat ini kami tinggal menunggu pelaksanaan pembongkaran,” ujarnya.

Yatim memastikan bahwa penyelesaian ini tidak menimbulkan konflik baru. Ia juga berharap masyarakat dapat belajar dari kasus ini untuk lebih aktif mengurus kepemilikan tanah secara legal.(Ara)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *