PONTIANAK – Lembaga Teraju Indonesia menemukan sejumlah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan ketenagakerjaan di berbagai perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat. Temuan tersebut mengungkapkan banyak buruh mengalami ketidakpastian ekonomi, kondisi kerja tidak layak, hingga dugaan praktik kerja paksa yang bertentangan dengan regulasi ketenagakerjaan dan perlindungan HAM di Indonesia.
Direktur Eksekutif Lembaga Teraju Indonesia, Agus Sutomo atau akrab disapa Bung Tomo, menjelaskan hasil survei lapangan lembaganya terhadap ratusan perusahaan sawit di wilayah Kalbar menunjukkan bahwa lebih dari 70 persen dari 40 perusahaan yang disurvei melakukan pelanggaran serius terhadap ketentuan ketenagakerjaan dan standar perlindungan pekerja.
“Banyak buruh sawit bekerja bertahun-tahun, bahkan hingga sepuluh tahun, namun tetap berstatus buruh harian lepas (BHL). Status ini membuat mereka tidak memiliki kepastian pekerjaan dan tidak mendapat hak-hak dasar seperti jaminan kesehatan atau tunjangan,” ungkap Tomo, Jumat (14/11/2025).
Status Buruh Harian Lepas (BHL) membuat buruh tidak memiliki slip gaji tetap, sehingga mereka sulit mengakses layanan publik seperti kredit, bantuan sosial, atau pendidikan bagi anak-anak mereka. Pendapatan yang tidak menentu membuat banyak keluarga buruh berada di bawah garis kemiskinan dan berisiko tinggi mengalami putus sekolah.
Selain itu, banyak buruh di bagian pemupukan dan penyemprotan pestisida terpapar bahan kimia berbahaya tanpa alat pelindung diri (APD) yang memadai. Akibatnya, mereka menderita iritasi kulit, gangguan pernapasan, hingga nyeri sendi. Ironisnya, biaya pengobatan harus ditanggung sendiri karena sebagian besar tidak terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan, padahal Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 mewajibkan perusahaan mendaftarkan seluruh pekerjanya.
“Banyak buruh yang tidak punya APD lengkap, tapi tetap disuruh bekerja. Ini jelas berbahaya dan tidak manusiawi,” ujar Tomo.
Sistem pengupahan di sejumlah perusahaan juga dinilai tidak adil, karena dihitung berdasarkan hasil panen, bukan jam kerja. Jika target tidak tercapai, gaji mereka dipotong drastis meskipun telah bekerja seharian penuh.
Kondisi ini mendorong sebagian buruh membawa anak dan keluarga mereka ke kebun untuk membantu mengejar target. Situasi tersebut, menurut Teraju Indonesia, berpotensi memicu praktik eksploitasi anak, serupa dengan temuan Human Rights Watch di beberapa wilayah perkebunan sawit lainnya.
Buruh perempuan disebut menjadi kelompok paling rentan terhadap risiko kesehatan dan diskriminasi. Mereka sering ditempatkan di bagian penyemprotan pestisida tanpa perlindungan yang memadai, dan banyak yang tidak mendapatkan hak cuti haid maupun cuti melahirkan.
“Paparan pestisida pada perempuan hamil sangat berbahaya. Bisa menyebabkan keguguran, gangguan reproduksi, bahkan kelainan pada janin,” jelas Tomo.
Selain itu, Teraju menemukan bahwa di beberapa perusahaan serikat buruh dilarang beroperasi atau diawasi ketat oleh manajemen. Praktik ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja, serta prinsip kebebasan berserikat yang dijamin ILO (Organisasi Perburuhan Internasional).
Temuan lain yang mengkhawatirkan adalah indikasi kerja paksa dan perdagangan orang (TPPO). Buruh lama kerap diminta merekrut tenaga kerja baru dari kampung halaman mereka tanpa kontrak jelas, tanpa tiket pulang, dan tanpa gaji tetap.
“Ketika buruh tidak bisa menolak pekerjaan, tidak bisa pergi, dan tidak dibayar, itu bukan lagi hubungan kerja biasa. Itu sudah mengarah pada kerja paksa,” tegas Tomo.
Lembaga Teraju Indonesia menilai bahwa lemahnya pengawasan dan ketidaktegasan penerapan hukum menyebabkan pelanggaran HAM dan ketenagakerjaan terus berulang. Oleh karena itu, Teraju mendorong pemerintah daerah Kalimantan Barat segera membuat Peraturan Daerah (Perda) tentang Perlindungan dan Kesejahteraan Buruh untuk memastikan tidak ada lagi diskriminasi dan eksploitasi terhadap pekerja perkebunan.
Temuan lapangan juga menunjukkan bahwa para buruh terdiri dari laki-laki, perempuan, hingga anak muda yang bekerja tanpa kepastian hukum dan perlindungan sosial.
Dengan mengacu pada Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS, UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja, serta UU HAM Nomor 39 Tahun 1999, negara wajib memastikan perlindungan hak atas pekerjaan, penghidupan yang layak, dan perlindungan terhadap perempuan dan anak dari segala bentuk eksploitasi.
“Negara wajib menghormati, melindungi, dan memenuhi hak warga negara, termasuk para buruh sawit yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi daerah,” tutup Tomo.(Ara)
