JAKARTA – Polda Riau, menetapkan dua orang tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan salah satu bank milik negara (BUMN) di Kabupaten Pelalawan, Riau.
Direktur Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus), Kombes. Pol. Ade Kuncoro Ridwan mengatakan kasus ini berkaitan dengan praktik pemberian kredit fiktif yang menyebabkan kerugian negara mencapai hampir Rp8 miliar.
“Iya, dua tersangka,” ujarnya, dilansir dari laman riauonline, Senin (10/11/25)
Dalam kesempatannya, ia mengatakan kasus ini ditangani oleh Tim Subdit II Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Riau.
Proses penyidikan telah berlangsung cukup lama, dimulai sejak 13 November 2024, sebagaimana tertuang dalam Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang diterima Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau pada 14 November 2024.
Penyidikan bermula dari temuan adanya kejanggalan dalam pemberian fasilitas kredit kepada sejumlah debitur di salah satu unit bank BUMN yang berlokasi di Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan.
Dugaan kuat mengarah pada praktik penyaluran kredit fiktif, di mana proses pemberian kredit dilakukan tanpa memenuhi syarat dan ketentuan internal perbankan.
Dalam tahap awal penyidikan, penyidik menetapkan seorang mantan pegawai bank berinisial LF, yang sebelumnya menjabat sebagai Marketing Kredit, sebagai tersangka. LF diduga memiliki peran sentral dalam proses pengajuan kredit yang bermasalah tersebut.
“Tersangka LF ini merupakan pegawai bank yang bertugas mengelola permohonan kredit. Ia diduga ikut serta dalam memproses data yang tidak sesuai dengan kondisi riil di lapangan,” jelasnya.
Diketahui bahwa penetapan tersangka terhadap LF dilakukan pada 21 Agustus 2025, dan berkas perkaranya langsung dikirimkan ke jaksa peneliti pada keesokan harinya.
Namun, setelah dilakukan pemeriksaan, Kejati Riau menyatakan berkas tersebut belum lengkap dan mengembalikannya kepada penyidik disertai petunjuk atau P-19 pada 9 September 2025.
Dari hasil pendalaman, penyidik menemukan adanya keterlibatan pihak lain di luar internal bank. Seorang wanita berinisial RA kemudian ditetapkan sebagai tersangka baru.
RA disebut sebagai pihak ketiga yang bertugas mencari data calon debitur, namun diduga turut membantu dalam memalsukan atau merekayasa data tersebut.
“RA ini pihak ketiga yang bertugas mencari data calon debitur,” jelasnya.
“Perannya cukup signifikan karena dialah yang menyiapkan calon-calon penerima kredit, meskipun secara administrasi dan fakta lapangan tidak sesuai ketentuan. Saat ini, berkas perkaranya masih dalam proses pemberkasan,” tegasnya.
Selanjutnya, berdasarkan dari hasil penyelidikan, diketahui bahwa modus yang digunakan kedua tersangka adalah dengan mengajukan kredit usaha mikro melalui program Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Kupedes Rakyat (KUPRA).
Praktik lancung ini diketahui berlangsung sejak 16 Januari hingga 3 Agustus 2024. Berdasarkan hasil audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Riau, kerugian keuangan negara yang ditimbulkan akibat kredit fiktif ini mencapai Rp7,975 miliar.
“Atas perbuatannya, kedua tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang penyertaan dalam tindak pidana korupsi,” tutupnya.
