JAKARTA – Isu regulasi media sosial kembali mencuat di parlemen. Dua anggota DPR RI, Bambang Haryadi dan Junico Siahaan, menyuarakan pentingnya pembatasan jumlah akun media sosial per individu sebagai upaya untuk mencegah penyebaran hoaks, ujaran kebencian, hingga kejahatan digital seperti penipuan dan judi online.
Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDIP, Junico Siahaan, membuka ruang diskusi mengenai wacana penerapan sistem “satu nama satu akun” di platform media sosial. Ia juga menyinggung pentingnya mengintegrasikan data identitas dengan nomor ponsel pengguna.
“Usul satu nama untuk satu akun, atau satu nomor HP untuk satu orang, bisa kita diskusikan lebih lanjut. Ini untuk menjawab tantangan ke depan, termasuk ujaran kebencian dan penyebaran hoaks yang tak terkendali,” kata Nico seperti dikutip dari detik.com, Kamis (13/09/2025).
Menurutnya, jika tidak ada regulasi yang memadai sejak dini, ancaman penyalahgunaan media sosial akan terus meningkat. Ia mencontohkan maraknya praktik penipuan digital dan judi online yang makin sulit diberantas karena banyaknya akun palsu dan anonim.
Sementara itu, Anggota DPR dari Fraksi Gerindra, Bambang Haryadi, menekankan pentingnya sistem akun tunggal di setiap platform media sosial. Dalam pernyataannya di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta (12/9), ia menyebut bahwa satu warga negara idealnya hanya memiliki satu akun di setiap aplikasi media sosial.
“Ini bukan soal membatasi demokrasi. Maksud kami adalah agar satu warga hanya punya satu akun untuk tiap platform—misalnya satu akun Instagram, satu TikTok, satu Facebook, dan seterusnya. Bukan satu akun saja untuk semua medsos,” jelas Bambang.
Ia menambahkan bahwa kebijakan ini bisa mengurangi dominasi akun anonim yang sering kali digunakan untuk menyebarkan narasi negatif dan merusak reputasi orang atau lembaga.
Bambang juga merujuk sistem serupa yang digunakan di beberapa negara, seperti Swiss, di mana nomor telepon warga negara terintegrasi dengan berbagai layanan, termasuk bantuan sosial dan media digital, untuk menjamin keabsahan identitas online.
“Kami melihat bahwa di negara lain, seperti Swiss, satu orang hanya punya satu nomor telepon yang sudah terhubung ke berbagai layanan. Itu bisa jadi rujukan kita untuk memberantas akun palsu,” tambahnya.
Wacana ini dipastikan masih dalam tahap ide dan belum masuk ke pembahasan resmi di DPR. Namun demikian, baik Bambang maupun Nico sepakat bahwa regulasi yang menyentuh aspek identitas digital semakin dibutuhkan dalam era keterbukaan informasi dan kebebasan berekspresi di dunia maya.